Saat pemain bulu tangkis senior, Tontowi Ahmad, putuskan mundur dari Pelatnas PBSI melalui informasi di account Instagramnya, Senin (18/5/2020) lalu, beberapa dari kita yang kemungkinan memikir itu hal biasa.
Biasa sebab dalam olahraga--termasuk badminton, pensiun, mundur, menggantung raket atau apa saja istilahnya, itu jadi satu keniscayaan. Karena, tiap olahragawan yang tampil, sebenarnya dibatasi umur. Mereka tidak dapat menantang umur.
Seberapapun hebat seorang olahragawan, saat umur makin bertambah, selanjutnya dia akan menyerah. Pilih mundur untuk membuka jalan buat atlet-atlet muda untuk mendapatkan gantian naik panggung. Kita terlatih mengatakan dengan pergantian.
Tetapi, mundurnya Tontowi Ahmad itu rupanya tidak usai cukup dengan kata "untuk pergantian" itu. Karena, mundurnya olahragawan peraih medali emas Olimpiade 2016 ini rupanya menimbulkan dinamika baru.
Dinamika baru itu bukan hanya menyertakan Persatuan Bulu tangkis Semua Indonesia (PBSI) untuk organisasi yang memayungi badminton di negeri ini.
Mantan-mantan olahragawan Pelatnas PBSI ikut juga bernada. Semakin persisnya mengomentari sekaligus juga memberi pendapat. Tetapi, bukan kritik buta. Tetapi kritik yang dilandasi rasa sayang supaya ada perbaikan di PBSI.
Klarifikasi PBSI
Jadi ini, setelah mundurnya Tontowi, beberapa media arus penting atau account sosial media yang umumnya membahas badminton, tampilkan curhatan Owi--panggilan Tontowi.
Begitu semenjak awal tahun 2020 ini, Owi yang disebut pemain bulu tangkis senior penuh prestasi serta seringkali mengharumkan bangsa ini, distatuskan untuk olahragawan magang oleh PBSI.
Merilis dari Tribunnews, Owi akui cukup keberatan dengan posisi itu sebab posisi magang itu biasanya dari olahragawan junior yang akan masuk dalam Pelatnas.
Sudah diketahui, setelah pensiunnya bekas rekannya, Liliyana Natsir diawalnya 2019, semasa tahun 2019 lalu, Owi dimainkan bersama-sama Winny Octavina (21 tahun). Sayangnya, kedua-duanya susah berprestasi walau di turunkan di sejumlah kompetisi.
Owi/Winny tidak mampu--untuk tidak menyebutkan gagal--melewati rangking dua pasangan ganda kombinasi Indonesia yang rangking BWF-nya tertinggi sekarang ini, Praveen Jordan/Melati Daeva serta Hafiz Faizal/Gloria Widjaja. Karena itu, diawalnya 2020, posisi Owi juga menjadi "olahragawan magang".
Nah, penilaian "tidak berhasil" serta langsung jadi olahragawan magang itu yang nampaknya membuat Owi sedih. Seakan, perolehan hebatnya sepanjang tahun awalnya, dilalaikan demikian saja.
"PBSI itu organisasi yang dapat menaungi serta menghormati anak buahnya. Contoh saya yang telah berprestasi, saya tahun tempo hari masih rangking satu dunia. Saya baru dicoba satu pasangan meskipun tidak pernah masuk semi-final, tetapi saya telah taklukkan pemain teratas 10. Tujuannya saya tidak sejelek itu yang harusnya langsung dibuang," tutur Tontowi seperti diambil dari Tribunnews.
Memberi respon curhatan Owi itu, PBSI lewat Kabid Binpres Susy Susanti sampaikan klarifikasi. Susy menerangkan alurnya. Jika, sesudah Liliyana mundur, Owi terpasangkan dengan Winny serta dikasih peluang untuk berkompetisi dengan pasangan ganda kombinasi yang lain merebutkan ticket ke Olimpiade 2020.
Merilis dari Badminton indonesia, selama setahun 2019 lalu, Owi/Winny ikuti 19 kompetisi. Hasilnya, point rangking mereka masih begitu jauh untuk berhasil lolos kwalifikasi Olimpiade. Mereka belum juga dapat melebihi rangking Praveen/Melati serta Hafiz/Gloria.
Lalu, saat pemberlakukan promo serta kemunduran diawalnya tahun 2020, Kepala Pelatih Ganda Kombinasi PBSI Richard Mainaky memberikan laporan jika Winny akan terpasangkan kembali lagi bersama-sama mitra awalnya, yaitu Besar Bintang Cahyono.
"Automatis kan jika kembali lagi berpasangan dengan Besar, bermakna Winny tidak berpasangan lagi sama Tontowi serta keadaan ini membuat Tontowi disamping itu belumlah ada pasangan main," tutur Susy.
"Tetapi di keadaan semacam itu, PBSI masih memberi peluang pada Tontowi, tapi dengan posisi SK (Surat Ketetapan) Magang, sebab belum punyai pasangan masih," lanjut Susy seperti diambil dari Badminton Indonesia.
PBSI pernah merencanakan memasangkan Tontowi dengan Apriani Rahayu (22 tahun), pemain ganda putri. Tetapi, mereka belum tampil. Lalu, epidemi corona hentikan semua kompetisi BWF semenjak tengah Maret kemarin.
Susy memberikan tambahan, masalah masih menggantungnya pasangan main dan sasaran berikut yang membuat PBSI memberi SK Magang pada Tontowi dengan peluang 4x try out. Jika hasilnya baik, maka ada penghargaan berbentuk extra try out untuk Tontowi, ini berlaku buat semua olahragawan pelatnas.
Susy memperjelas jika pada tahun 2020, PBSI harus arif dalam mengendalikan prioritas sampai budget pengiriman pemain khususnya buat mereka yang diprogramkan untuk Olimpiade Tokyo 2020.
Kenapa Tontowi/Winny tidak dapat cemerlang?
Saya tidak ingin berpolemik bela siapa yang betul serta siapa yang keliru dalam soal ini. Tontowi punyai fakta sendiri yang jika disaksikan dari pandangan orang pemula, memang rasa-rasanya kurang cocok membuatnya "anak magang" sesudah 15 tahun dedikasinya.
Sesaat PBSI punyai fakta sendiri. Intinya tentang point, telah diberi peluang bermain semasa kalender kompetisi setahun lalu dievaluasi. Serta promo kemunduran itu biasa berlangsung tiap tahun di PBSI.
Tetapi, bilapun Tontowi disebut tidak berhasil saat berpasangan dengan Winny pada 2019 lalu, lepas dari pemainnya, pasti itu balik lagi pada ketetapan si pelatih serta PBSI yang memilihkannya pasangan untuk Owi.
Memang, Winny saat berpasangan dengan Besar Bintang Cahyono, mereka telah ada chemistry-nya. Pernah juara. Serta, Winny dapat disebut seorang rising star. Tetapi, saat berpasangan dengan Tontowi, Winny harus menyesuaikan lagi. Termasuk juga Owi. Belum juga beban mental anak muda yang berpasangan dengan seniornya.
Jadi, tidak dapat sebatas mempersalahkan "Owi tidak dapat menuntun Winny". Atau menyebutkan "Owi tanpa ada Liliyana tidak dapat apa-apa". Lha wong Liliyana sendiri, di account IG nya menyebutkan Owi untuk "mitra yang telah bawa saya naiki pucuk prestasi paling tinggi di badminton".
Cara Melakukan Deposit Main Togel Online
Walau sebenarnya, saat baru terpasangkan dengan Liliyana, Owi saat itu masih tetap minim jam terbang sesaat Liliyana telah juara dunia bersama-sama Nova Widianto. Toh, mereka pada akhirnya dapat nyetel.
Pertanyaan saya, jika bisa memperbandingkan, kenapa China langsung dapat sukses saat 'menceraikan' pasangan teratas Zheng Siwei/Chen Qingchen lalu memasangkan Siwei dengan Huang Yaqiong. Tidakkah itu kedahsyatan pelatihnya yang punyai insting tajam dalam memasangkan atletnya.
Kita ketahui, Siwei/Qingchen sempat jadi rangking 1 dunia serta memimpin kompetisi. Tetapi, mereka seringkali kesusahan saat menantang Tontowi/Liliyana. Termasuk juga kekalahan mereka dari Owi/Liliyana di final Kejuaraan Dunia 2017.
Lalu, Siwei terpasangkan dengan Yaqiong yang dahulunya berpasangan dengan Lu Kai serta pernah menjadi juara All England. Sebab Lu Kai luka, karena itu Yaqiong terpasangkan dengan Siwei. Sesaat Qingchen diprioritaskan di ganda putri bersama-sama Jia Yifan. Mereka pernah jadi rangking 1 dunia serta juara dunia 2018.
Yang berlangsung selanjutnya, Siwei/Yaqiong langsung menjelma jadi pasangan yang memimpin ganda kombinasi. Serta, Tontowi/Liliyana kesusahan "mendapatkan obat" untuk menangani mereka. Sampai sekarang, Siwei/Yaqiong tetap menjadi rangking 1 dunia.
Kenapa kok Siwei/Yaqiong langsung dapat nyetel sesaat Owi/Winny malah tidak dapat seperti mereka?
Tentunya terdapat beberapa unsurnya. Tetapi yang pasti, bermain ganda bukan mengenai kedahsyatan orang per orang. Tetapi bagaimana mereka dibuat jadi pasangan yang "sehati". Serta itu kadang perlu waktu lama. Ya, bukan pekerjaan gampang menjadikan satu 2 orang jadi pasangan hebat di atas lapangan.
Mencuplik perkataan Owi, dianya baru terpasangkan dengan satu pasangan serta seakan langsung divonis. Walau sebenarnya, PBSI punyai beberapa pilihan pemain yang dapat terpasangkan dengan Owi seperti disuarakan beberapa badminton lovers (BL) Indonesia.
Seumpama, kenapa tidak dari dahulu coba mainkan Tontowi dengan Apriani yang walau masih terbilang muda, tetapi punyai jam terbang lebih dari pada Winny sebab seringkali juara di kompetisi BWF World Tur bersama-sama Greysia Polii di ganda putri. Ada pula nama Ni Ketut Mahadewi yang eksper main di ganda putri.
Memang, jika demikian, Apri atau Ni Ketut akan bermain dobel di ganda kombinasi serta ganda putri. Toh, dahulu Chen Qingchen (yang oleh BL Indonesia dipanggil "Dora") sempat lakukan itu serta sukses. Tetapi, selanjutnya, bagaimana juga, PBSI yang semakin tahu masalah ini.
Bekas pemain Pelatnas turut bernada
Selanjutnya, ada yang semakin penting dari berdiskusi mengenai posisi magang atau ketetapan yang telah melalui. Toh, Owi saat interviu dengan Tribunnews itu, tidak jadikan posisi itu untuk fakta penting dianya mundur. Ia ingin punyai semakin beberapa waktu untuk keluarganya.
"Saya anggap tidak masalah, tetapi PBSI tujuan saya harus dapat menghormati. Saya atas nama pribadi tidak ada sakit hati, tidak ada permasalahan, saya pensiun permasalahan itu bukan fakta penting," tutur Owi.
Malah saat ini, yang semakin penting, jika mundurnya Tontowi ini menjadi momen buat organisasi yang memayungi olahraga, untuk semakin menghormati atlet-atletnya yang sudah berusaha semenjak kecil untuk bangsa.
Karena, rupanya, mundurnya Owi itu seakan jadi "pemicu signal". Ada banyak bekas olahragawan Pelatnas yang lalu turut bernada. Membaca narasi mereka, kita akan sampai pada simpulan tentang keutamaan penghargaan buat olahragawan.
Salah satunya bekas pemain Pelatnas yang turut bernada ialah Sony Dwi Kuncoro. Peraih medali perunggu tunggal putra di Olimpiade 2004 ini tuliskan secuil narasi pengalamannya melalui account Instagramnya.
Arek Suroboyo ini bercerita, tahun 2014 lalu dianya tinggalkan pelatnas PBSI secara menurut dia kurang menghormati dianya yang telah 13 tahun di Pelatnas. Pada saat itu, Sony berumur 29 tahun serta masih rangking 15 dunia.
"Bagaimana tidak, pertama-tama saya ketahui kabar mengenai kemunduran lewat koran. Beberapa waktu saya nantikan tidak ada perbincangan dari pengurus, pada akhirnya saya bertanya surat keluar supaya saya mendapatkan kejelasan," tutur Sony.
Sony juga memberikan pendapat supaya langkah kemunduran olahragawan Pelatnas, dapat semakin menghormati olahragawan. Apa saja prestasinya semasa bela Indonesia. Karena, olahragawan dari mulai kecil pilih jalani hidup di badminton, tinggalkan sekolah, serta keluarga untuk peluang bermain.
Menurut dia, dengan memberi penghargaan pada olahragawan, apa saja memiliki bentuk (piagam atau sertifikat), akan bermanfaat serta memberi kebanggaan untuk hari esok si olahragawan.
"Rutinitas ini harus dirubah oleh siapa saja pengurusnya. Perkembangan harus dilaksanakan untuk kebaikan anak cucu kita yang bercita-cita jadi olahragawan bulu tangkis," catat Sony.